Bulan Agustus tahun 1992, ketika pertama menerima surat penempatan tugas dari dari institusi yang mendidikku jadi tenaga teknis menengah kehutanan, hatiku galau, cemas, gugup, dan kecewa. Bagaimana tidak, ketika surat dibuka terpampang jelas "ditempatkan di Kanwil Kehutanan Provinsi Irian Jaya". Masih teringat suasana saat kami sama-sama membuka surat penugasan, berbagai reaksi dari teman-teman menanggapi surat penempatan ini. Ada yang melonjak gembira, yang tanpa ekspresi, ada yang kening mengkerut, dan diantaranya ada yang terdiam tidak percaya. Aku sendiri termasuk salah satu yang terdiam menatap jajaran tulisan pada secarik kertas tersebut, antara percaya tidak percaya. Kok dari 80 orang, aku malah yang ditempatkan di Irian Jaya. Hatiku berkecamuk membayangkan kearah mana Irian Jaya itu, ada di peta atau tidak, apakah benar katanya masih hutan belantara dan penduduknya suka makan orang. Berbagai perasaan berkecamuk, aku sendiri tidak tahu apakah saat itu aku sedih, kecewakah, atau mungkin ketakutan. Yang jelas Provinsi Irian Jaya tidak terbayangkan sebelumnya.
Bersyukur ternyata aku tidak sendiri, ada 8 orang yang mendapat penempatan yang sama denganku. Kami berkumpul membahas Irian Jaya, kami membayangkan bahwa saat itu tahun 1992 Irian Jaya adalah hutan belantara dengan peradaban yang belum jelas. Akhirnya dari delapan 8 orang, hanya 5 orang yang sepakat akan berangkat sesuai dengan penugasan termasuk aku sendiri. Dikeluargaku sendiri terjadi pertentangan apakah aku berangkat atau tidak, Ibu, Nenek, dan Kakek keberatan kalau aku berangkat, sementara Bapak mendorong untuk berangkat, "mencari pengalaman" katanya. Aku sendiri cenderung harus berangkat mengingat punya beban moral dengan pendidikan dan perjanjian tertulis yang telah aku isi bahwa "bersedia ditempatkan dimana saja di wilayah Indonesia.
![]() |
Wamena Tahun 1992 |
Singkat cerita, jadilah aku berangkat ke Irian Jaya. Aku berangkat dari pelabuhan Tg. Priok menggunakan Kapal Pelni KM. Umsini berdua dengan seorang temanku, sementara yang 3 temanku yang lain berangkat lewat Surabaya. Air mata keluargaku berurai mengantar kepergianku, berbagai perbekalan dibawakan oleh keluargaku, seakan-akan aku akan pergi ke hutan yang tanpa peradaban. Mulai dari alat-alat mandi, mie instan, berbagai jenis panganan, dan perlengkapan lainnya seakan-akan tidak tersedia ditempat yang akan aku tuju.
Setelah menempuh perjalanan 7 hari dengan menyinggahi berbagai daerah sampailah aku di Pelabuhan Kota Jayapura. Oh... saat itu Jayapura belum berstatus Kota, tetapi masih jadi Ibukota Kabupaten Jayapura. Sejak Kapal mendekati daratan, aku tercengang, betapa indah Jayapura. Dari arah lautan yang biru berdiri dengan kokoh perbukitan yang hijau dengan dihiasi jajaran bangunan di sela-sela datarnya. Dibelakang perbukitan berdiri pegunungan yang berkabut, belakangan baru aku ketahui itu adalah pegunungan Cyclops yang membentengi Jayapura dengan pantai Utara lautan Pasifik. Setalah turun dari Kapal aku malah tersenyum simpul teringat perbekalan yang aku bawa. Ternyata Irian Jaya (Jayapura) tidak seperti yang dibayangkan, saat itu Jayapura sudah masuk kategori kota sedang dengan berbagai fasilitas yang lengkap. Bahkan beberapa kota Kabupaten di Jawa kalah besar dan ramai dengan kota Jayapura.
Hari berganti hari, minggu berganti, bulan berganti, aku merasa cocok dengan kondisi Jayapura. Kotanya indah tidak terlalu ramai, anti macet, dan yang paling penting aku mulai bisa bergaul dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan setempat. Awalnya memang terbersit dihatiku bahwa orang Irian keras-keras dan kasar. Ternyata aku salah, setelah sekian lama berteman dan bergaul aku merasakan kehangatan sosial. Penduduk Irian sangat toleransi, ramah, suka bercanda (mop), dan sangat well come kepada siapapun. Kerikil-kerikil kecil memang ada, misalnya diganggu orang mabuk, salah paham dsb, tetapi itu hanyalah iklan yang tidak ada pengaruhnya terhadap apresiasiku tentang Irian. Ternyata aku betah di Irian yang belakangan menjadi Papua. Berbagai komunitas, suku, dan adat telah aku gauli. Bahkan terkait dengan pekerjaanku, aku menjadi sangat dekat dengan penduduk asli di pedesaan, aku dekat dengan Kepala Suku, aku dekat dengan orang dewan adat. Bahkan dua kepala suku mengangkatku menjadi "anak angkat".
![]() |
Aku terbiasa bergaul dengan penduduk pedalaman |
Setelah berkeluargapun aku makin betah di Papua, isteriku, anak-anakku semuanya merasa nyaman tinggal di Papua. Berbagai gejolak berupa kerusuhan, tuntutan merdeka, dan peristiwa-peristiwa yang katanya didalangi Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah kulalui, ketegangan setiap tanggal 1 Desember sudah biasa kualami. Pendeknya apapun tidak melunturkan cintaku pada Papua. Bahkan ketika aku harus mengemban tugas di Manokwari, aku tetap cinta Papua, apalagi Jayapura. Sampai akhirnya aku harus meninggalkan Papua karena tuntutan tugas. Ya sejak tahun 2011, setelah 18 tahun aku menetap di Papua, aku harus meninggalkan kampung halamanku yang "kedua". Sampai saat ini hati kecilku masih nyangkut di Papua terutama Jayapura. Bagaimana tidak ?, sejak usia remaja sampai menjelang 40 tahun, aku merasakan suka duka di Papua. Papua sangat indah, Papua sangat ramah, Papua sangat unik, Papua sangat kaya, Papua sangat eksotis.
Setelah 1 tahun aku meninggalkan Papua, berbagai peristiwa telah terjadi. Keamanan mulai terusik, kalau dulu hanya takut orang mabuk, maka saat ini di beberapa wilayah Papua nyawa menjadi taruhannya. Penembakan misterius terjadi dimana-mana, bahkan di dalam kota Jayapura. Belum lagi gejolak di dalam hutan, kumpulan orang-orang yang kecewa dengan kondisi Papua telah menjadi Pengacau. Bukan lagi untuk memperlihatkan eksistensi, tetapi sudah ke arah biadab. Memang tidak akan ada asap kalau tidak ada api, dan apipun tidak akan menyala kalau tidak ada yang menyalakannya. Aku tidak tahu mengapa saat ini Papua sudah "TIDAK RAMAH LAGI". Aku yakin ada yang salah dengan sistem dan pendekatan yang sudah dan sedang dilakukan. Aku sudah blusukan ke segala penjuru Papua mulai dari pantai sampai pegunungan, bahkan daerah yang sangat terpencil sekalipun. Sejujurnya kala itu aku sempat berpikir, alangkah kasihannya penduduk di pedalaman yang tidak merasakan hasil pembangunan di alam kemerdekaan, di balik gemerlapnya kota. Aku merasa penduduk Papua di pedalaman bagaikan ayam yang kelaparan di lumbung padi. Walaupun mereka sendiri tidak menyadari, karena alam sudah menyediakan semua kebutuhan mereka. Mereka adalah orang-orang bersahaja yang tidak punya ambisi, yang penting kebutuhan makan terpenuhi, maka mereka akan tetap ceria.
![]() |
Potret minimnya fasilitas di Papua |
Ironis memang, dibalik dana APBD dan dana Otsus yang jumlahnya fantastis, belum lagi dana bagi hasil dari PT. Freeport yang tidak kalah fantastis, PNPM, dan berbagai sumber dana lainnya. Sementara sebagian besar penduduk di pedalaman masih susah payah untuk mempertahankan hidup dari alam yang mulai terdegradasi di beberapa tempat. Dulu, mungkin bisa menyembunyikan sesuatu dengan segala keterbatasan informasi, kini akhirnya sebagian penduduk tahu, betapa tidak adilnya pembangunan, betapa lalainya negara, betapa serakahnya oknum yang bermain anggaran. Yang pada akhirnya timbul ketidakpuasan dan kekecewaan, sehingga beberapa Saudara kita (maaf) terjerumus mengambil jalan pintas untuk menyelesaikan permasalahan berdasarkan interpretasi mereka sendiri.
TNI / Polri tidak salah, karena tugas mereka adalah menjaga keamanan dan ketertiban, wajar kalau pada kondisi tertentu mereka menjadi hilang kontrol karena emosi dan kondisi psikologis yang tertekan harus hidup menjaga keamanan di pedalaman. Kekerasan yang terjadi selalu bermuara pada OPM, perlu pencermatan yang lebih dalam. Karakter asli orang Papua tidak sekejam itu, mereka orang-orang beragama, kalau tidak ada yang "numpangi", maka aku tidak yakin mereka akan sekejam itu. Waktu 18 tahun, adalah cukup bagi aku untuk mengetahui lebih banyak karakter orang Papua.
Hingga aku berfikir, kalau saat ini Papua sudah tidak ramah lagi, maka itu adalah suatu keniscayaan. Akumulasi kekecewaan, ketidakpercayaan, melihat keserakahan, perebutan kekuasaan, dan rasa kesulitan untuk mencari penghidupan menjadi biang utama yang ditanggapi sebagian Saudara kita dengan sangat responsif. Dan sekali lagi mungkin ada "penumpang" dibalik itu. Menjadi PR berat bagi Pemerintah Pusat, Pemda, dan Intelejen untuk segera mencari tahu dan mengadakan pendekatan yang tepat.
No comments:
Post a Comment
Bagaimana menurut Anda ?