Belakangan ini berbagai peristiwa signifikan terjadi di negeri tercinta ini, mulai dari gejala alam yang menimbulkan musibah, kehebohan di dunia selebritis, penangkapan teroris, dan yang paling besar tentu adalah proses penggantian kepemimpinan negara melalui pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.
Peristiwa terakhir inilah yang telah membuat suasana menjadi lebih memanas karena persaingan untuk menduduki jabatan presiden. Media sosial dan media online menjadi ajang perang para pengguna internet dari masing-masing kubu, bahkan sampai saling menuduh antara kedua kubu bahwa masing-masing mempunyai pasukan online untuk merubah atau mempengaruhi stigma para calon pemilih. Perang kata-kata ini tidak hanya terjadi di lapisan bawah, tetapi juga terjadi dikalangan elit politik yang mendukung masing-masing calon. Kondisi membuat media masa baik cetak, elektronik, dan media online tidak pernah kehabisan berita. Bahkan beberapa media diindikasikan tidak netral dalam mendukung kedua calon, alias masing-masing calon punya media pendukung yang menjadi corong pemberitaan positif untuk dirinya dan corong pemberitaan negatif bagi lawannya. Begitu ketatnya persaingan, sehingga muncul berbagai isu dan intrik yang merugikan masing-masing calon.
Saat ini seharusnya semua telah berlalu, legislatif dan eksekutif telah terpilih, walaupun dibumbui berbagai isu kecurangan dan saling klaim kemenangan. Namun semuanya sudah dijalani sesuai aturan dan perundangan yang berlaku. Ada yang menang dan ada yang kalah, idealnya yang menang harus mengakomodir yang kalah, dan yang kalah harus legowo dan mendukung yang menang. Tapi apakah ini terjadi ???....
Masing-masing kita tentu dapat menilai, jikalau demokrasi ini dilaksanakan dengan positif dan bertujuan hanya satu yaitu untuk KEMAJUAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA BESERTA SELURUH RAKYATNYA, maka potret yang terjadi masih jauh panggang dari pada api. Drama-drama komedi ironi masih terus terjadi, indikator utamanya adalah adanya koalisi-koalisisan, hampir saja ada DPR tandingan, perpecahan dalam tubuh Partai, kabinet sepihak, dan banyak lagi indikator-indikator kecil yang menandakan negeri ini belum sehat. Jika tujuannya perbaikan keadaan, maka pergantian pimpinan negara kali ini semestinya tidak lagi mengadopsi kondisi masa lalu, misalnya masalah koalisi dan penunjukan kabinet yang sama sekali tidak melibatkan kubu lawan politik. Padahal seliasih suara yang tidak terlalu banyak, mestinya menjadi dasar untuk mengakomodir kepentingan dan ide-ide dari kedua belah pihak.
Drama masih terus berlanjut, dengan menyaksikan berbagai polemik yang sebenarnya tidak perlu jadi polemik. Setiap langkah pemerintahan baru dikritik, demikian pun pemerintahan yang ada, setiap menemukan kesulitan dan ketidak idealan selalu menyalahkan pemerintahan masa lalu. Berbagai kebijakan yang strike bergelimangan, walaupun sepertinya tidak melalui kajian yang mendalam. Atas nama perbaikan, penghematan, dan sebagainya mau tidak mau semua lapisan rakyat Indonesia harus rela menghadapi kondisi ini. Walaupun suara sumbang masih terdengar akibat kebijakan kenaikan BBM, pelarangan rapat di hotel bagi PNS, penghilangan Raskin dan Bansos, dan lain-lain sepertinya akan menambah panjang penyebab perang antara kubu. Kubu pemenang masih melekat dengan tuduhan pencitraan, kubu yang kalah masih melekat tuduhan menghambat pemerintahan.
Gonjang-ganjing, persaingan, saling hujat, saling tuduh, dan banyak lagi kejadian negatif. Apakah itu semua melibatkan rakyat Indonesia. Mungkin bagi yang merasa intelek, sedikit intelek, dan intelek dipaksakan merasa terlibat sepenuhnya dalam keruwetan ini. Tapi bisakan kita mengukur berapa persen dari jumlah penduduk Indonesia ??. Kalau demikian... kira-kira berapa persen sih penduduk Indonesia yang tidak peduli dengan segala keadaan ini akibat keterbatasan. Berapa juta orang sih yang dari awal hanya jadi penonton dan taat aturan sebagai warga negara untuk mengikuti pemilu. Saya yakin tidak ada yang bisa menyatakan ukuran angka secara tepat, karena memang kita, elit politi, dan pemimpin kita kurang peduli.
Harapan rakyat, yang mohon maaf boleh dikatakan rakyat kecil dengan segala keterbatasan tentu adalah proses penggantian pimpinan akan segera terasa hasil positifnya bagi kehidupan mereka. Setelah bersabar dengan menonton berbagai kejadian menjelang pemilu, ternyata setelah pemilu malah harus lebih bersabar lagi bahkan bukan hanya sabar tapi juga ngirit. Kenaikan BBM, hilangnya raskin, yang diikuti kenaikan harga telah memukul mereka dengan telak. Bagaimana tidak, dulunya sudah sekarang tambah susah, dulunya miskin sekarang makin miskin, dulunya bersabar sekarang harus lebih bersabar lagi. Harapan tinggal harapan, kenyataan pahit sepahit-pahitnyalah yang menjadi kenyataan. Walaupun pemerintah berjanji dari berbagai kebijakan sekarang adalah demi perbaikan ke depan, tetapi apakah isi perut bisa ditunda, bayar ongkos angkot dan ojek bisa ditunda ??. Apakah yakin kompensasi kartu 400 ribu bisa menutupi lonjakan biaya kebutuhan. Kenaikan BBM mempunyai efek berantai yang luar biasa mulai dari kenaikan sembako, tarif angkutan, tarif listrik, dan semua kebutuhan baik fisik maupun jasa.
Sepertinya menghadapi kondisi ini sebagian besar rakyat masih harus tetap sabar, dengan harapan apa yang dijanjikan pemerintah ke depan akan terwujud. Beruntung semuanya sudah biasa dengan kondisi yang tidak mengenakan yang harus dipenuhi kesabaran. Yakinlah Saudara-saudaraku kesabaran akan menuai hasil positif.
Edisi Curhat dan Kesal
Hendra Gomik
No comments:
Post a Comment
Bagaimana menurut Anda ?