Sering kita mendengar
pemerintah mengklaim telah berhasil dalam membangun perekonomian bangsa ini.
Indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi yang selalu positif dari tahun ke
tahun. Dan peningkatan cadangan devisa yang siginifikan. Bahkan pemerintah
berani mengklaim perekonomian kita tumbuh paling pesat di kawasan Asia Fasifik.
Lebih jauh pemerintah juga mengklaim kemungkinan perekonomian kita akan kebal
atau tidak akan terpengaruh dengan gonjang-ganjing perekonomian di kawasan
Eropa.
Pemerintah boleh saja
mengklaim kesuksesan dalam pengelolaan perekonomian Negara dengan
mengetengahkan berbagai indicator ekonomi yang hanya dapat dimengerti oleh
kalangan tertentu. Namun pernahkah pemerintah menampilkan indicator ekonomi
yang mudah dimengerti dan dirasakan langsung oleh masyarakat misalnya semakin
mudahnya lapangan pekerjaan, harga-harga bahan pokok yang semakin terjangkau
oleh rakyat kecil, semakin menurunnya rakyat miskin, atau bahkan sudah tidak
adanya rakyat yang kekurangan gizi, dan indikator-indikator nyata lainnya yang
lebih populer bagi rakyat umum. Pernahkan pemerintah melakukan evaluasi secara
menyeluruh terhadap kondisi kehidupan masyarakat dari segala kalangan dan dari
segala sisi kehidupan, betulkan semua aspek telah terukur dan teratur sesuai
dengan azas keadilan, sudah tidak adakah rakyat yang hidup susah bahkan dalam
hal mencari makan. Kalau itu yang menjadi perhatian pemerintah, saya kira saat
ini hasilnya masih jauh panggang dari pada api. Cobalah kita tengok beberapa
kasus yang sering kita dapati di kehidupan rakyat kita yang mungkin luput dari
perhatian pemerintah, diantaranya :
1. Semakin
tidak terkendalinya bisnis kaum kapitalis, misalnya maraknya usaha waralaba
berupa mini market yang bahkan sudah masuk ke kampung-kampung. Tahukan
pemerintah bahwa akibat pertumbuhan bisnis ini berapa ratus warung kecil yang
tutup akibat tidak mampu bersaing dengan mini market waralaba, berapa ribu
orang yang harus menanggung akibat dari kondisi ini. Mulai dari toko-toko
kelontong di pasar tradisional yang biasanya melayani pembelian warung-warung
kecil yang mulai kolaps, pemilik warung sendiri dan keluarganya, pedagang
eceran yang biasanya menitipkan dagangannya diwarung kecil, bahkan lebih
spesifik lagi berapa ratus orang tukang kerupuk yang harus beralih profesi
akibat sumber penghasilannya mulai seret. Dan banyak lagi rantai pemasaran yang
putus yang melibatkan banyak tenaga kerja.
2. Baru-baru
ini para peternak ayam kecil mengeluh karena harga “kulit gabah padi” karungan
meningkat yang semula dari kisaran Rp. 2.000,- / karung menjadi sampai 8.000,-/
karung. Penyebabnya adalah Pabrik semen mulai menggunakan bahan ini sebagai
bahan bakar. Akibatnya permintaan melonjak dan para spekulan bermain. Sekilas
memang hal ini sesuai dengan hukum ekonomi, dimana semakin banyak permintaan
maka harga akan naik. Tapi cobalah renungkan pantaskan pabrik semen yang
merupakan investasi besar menggunakan bahan bakar yang lebih banyak pengusaha
kecil memakainya. Tidakkah pemerintah berkewajiban mengaturnya ???
3. Dari
sisi perburuhan, saat ini berkembang system “out sourcing” , dimana pabrik tidak langsung menerima karyawan,
tetapi karyawan adalah pegawai yayasan yang direkrut dengan system kontrak.
Kondisi ini sangat menyulitkan para buruh, dimana dengan mudahnya diberhentikan
tanpa konpensasi apapun, pemberian THR seadanya, jaminan kesehatan
kadang-kadang tidak tersedia. Hal ini tentu sangat tidak kondusif untuk iklim
kerja para buruh dan wajar sering kali para buruh berdemo.
4. Anggaran
pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN. Tapi ironisnya biaya pendidikan malah
semakin mahal, mekanisme BOS lebih banyak bocornya dan tidak tepat sasaran.
Tengoklah saat ini biaya masuk perguruan tinggi negeri mahalnya bukan main.
“Seorang teman saya, yang seorang PNS pejabat Eselon IV dengan setengah menangis
mengeluh hampir saja tidak bias menguliahkan anaknya di sebuah perguruan tinggi
negeri yang uang pangkalnya mencapai Rp. 17.000.000,- sementara gaji-nya
sebagai PNS dengan masa kerja di atas 20 tahun hanya Rp. 3.200.000,-. Beruntung
koperasi ditempatnya bekerja dapat membantu masalah ini, tentunya dengan
memberikan pasilitas hutang”.
5. Bervariasinya
buku cetakan yang menjadi acuan masing-masing sekolah, menjadi ladang bisnis
baru bagi pihak sekolah. Untuk sekolah SD sampai SMP memang tidak ada isuran
SPP dan uang pangkal, namun tahukan pemerintah untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan buku yang penerbitnya sesuai dengan keinginan pihak sekolah bias
mencapai Rp. 300.000,- persemester.
6. Anggaran
pendidikan mencapai 20% dari APBN, namun sayangnya kualitas kurikulum dan
pengajaran di sekolah semakin menurun. Indikatornya adalah menjamurnya
bimbingan belajar yang “mohon maaf” harganya sangat selangit dan hanya kalangan
tertentu yang dapat menjangkaunya. Harusnya Kemendiknas “tersinggung” dengan
kondisi ini karena untuk lulus UN dan SMPTN siswa harus mengikuti Bimbel.
Bahkan Bimbel berani memasang iklan garansi uang kembali apabila tidak lulus UN
dan SMPTN. Mengapa sekolah tidak berani juga memasang garansi yang sama ?????
Sesungguhnya contoh
kondisi-kondisi di atas hanyalah sebagian kecil penomena yang terjadi saat ini
yang sesungguhnya selain klaim – klaim kemajuan bidang ekonomi, hal tersebut
harus menjadi perhatian pemerintah. Dan seharusnya hal-hal kecil tersebut
sangat dapat dikendalikan oleh pemerintah yang katanya “Pro Rakyat”. Sehingga
keberadaan pemerintahan tidak hanya terkesan sebagai “SIMBOL” saja di mata
Rakyat.
Palembang
Medio Nopember 2011
“WONG BESAK”
No comments:
Post a Comment
Bagaimana menurut Anda ?