Tuesday, October 9, 2012

KETIKA PEMERINTAHAN HANYA SIMBOL BELAKA………………..

Sering kita mendengar pemerintah mengklaim telah berhasil dalam membangun perekonomian bangsa ini. Indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi yang selalu positif dari tahun ke tahun. Dan peningkatan cadangan devisa yang siginifikan. Bahkan pemerintah berani mengklaim perekonomian kita tumbuh paling pesat di kawasan Asia Fasifik. Lebih jauh pemerintah juga mengklaim kemungkinan perekonomian kita akan kebal atau tidak akan terpengaruh dengan gonjang-ganjing perekonomian di kawasan Eropa.

Pemerintah boleh saja mengklaim kesuksesan dalam pengelolaan perekonomian Negara dengan mengetengahkan berbagai indicator ekonomi yang hanya dapat dimengerti oleh kalangan tertentu. Namun pernahkah pemerintah menampilkan indicator ekonomi yang mudah dimengerti dan dirasakan langsung oleh masyarakat misalnya semakin mudahnya lapangan pekerjaan, harga-harga bahan pokok yang semakin terjangkau oleh rakyat kecil, semakin menurunnya rakyat miskin, atau bahkan sudah tidak adanya rakyat yang kekurangan gizi, dan indikator-indikator nyata lainnya yang lebih populer bagi rakyat umum. Pernahkan pemerintah melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kondisi kehidupan masyarakat dari segala kalangan dan dari segala sisi kehidupan, betulkan semua aspek telah terukur dan teratur sesuai dengan azas keadilan, sudah tidak adakah rakyat yang hidup susah bahkan dalam hal mencari makan. Kalau itu yang menjadi perhatian pemerintah, saya kira saat ini hasilnya masih jauh panggang dari pada api. Cobalah kita tengok beberapa kasus yang sering kita dapati di kehidupan rakyat kita yang mungkin luput dari perhatian pemerintah, diantaranya :
1.    Semakin tidak terkendalinya bisnis kaum kapitalis, misalnya maraknya usaha waralaba berupa mini market yang bahkan sudah masuk ke kampung-kampung. Tahukan pemerintah bahwa akibat pertumbuhan bisnis ini berapa ratus warung kecil yang tutup akibat tidak mampu bersaing dengan mini market waralaba, berapa ribu orang yang harus menanggung akibat dari kondisi ini. Mulai dari toko-toko kelontong di pasar tradisional yang biasanya melayani pembelian warung-warung kecil yang mulai kolaps, pemilik warung sendiri dan keluarganya, pedagang eceran yang biasanya menitipkan dagangannya diwarung kecil, bahkan lebih spesifik lagi berapa ratus orang tukang kerupuk yang harus beralih profesi akibat sumber penghasilannya mulai seret. Dan banyak lagi rantai pemasaran yang putus yang melibatkan banyak tenaga kerja.
2.    Baru-baru ini para peternak ayam kecil mengeluh karena harga “kulit gabah padi” karungan meningkat yang semula dari kisaran Rp. 2.000,- / karung menjadi sampai 8.000,-/ karung. Penyebabnya adalah Pabrik semen mulai menggunakan bahan ini sebagai bahan bakar. Akibatnya permintaan melonjak dan para spekulan bermain. Sekilas memang hal ini sesuai dengan hukum ekonomi, dimana semakin banyak permintaan maka harga akan naik. Tapi cobalah renungkan pantaskan pabrik semen yang merupakan investasi besar menggunakan bahan bakar yang lebih banyak pengusaha kecil memakainya. Tidakkah pemerintah berkewajiban mengaturnya ???
3.    Dari sisi perburuhan, saat ini berkembang system “out sourcing” , dimana pabrik tidak langsung menerima karyawan, tetapi karyawan adalah pegawai yayasan yang direkrut dengan system kontrak. Kondisi ini sangat menyulitkan para buruh, dimana dengan mudahnya diberhentikan tanpa konpensasi apapun, pemberian THR seadanya, jaminan kesehatan kadang-kadang tidak tersedia. Hal ini tentu sangat tidak kondusif untuk iklim kerja para buruh dan wajar sering kali para buruh berdemo.
4.    Anggaran pendidikan sudah mencapai 20% dari APBN. Tapi ironisnya biaya pendidikan malah semakin mahal, mekanisme BOS lebih banyak bocornya dan tidak tepat sasaran. Tengoklah saat ini biaya masuk perguruan tinggi negeri mahalnya bukan main. “Seorang teman saya, yang seorang PNS pejabat Eselon IV dengan setengah menangis mengeluh hampir saja tidak bias menguliahkan anaknya di sebuah perguruan tinggi negeri yang uang pangkalnya mencapai Rp. 17.000.000,- sementara gaji-nya sebagai PNS dengan masa kerja di atas 20 tahun hanya Rp. 3.200.000,-. Beruntung koperasi ditempatnya bekerja dapat membantu masalah ini, tentunya dengan memberikan pasilitas hutang”.
5.    Bervariasinya buku cetakan yang menjadi acuan masing-masing sekolah, menjadi ladang bisnis baru bagi pihak sekolah. Untuk sekolah SD sampai SMP memang tidak ada isuran SPP dan uang pangkal, namun tahukan pemerintah untuk memenuhi tuntutan kebutuhan buku yang penerbitnya sesuai dengan keinginan pihak sekolah bias mencapai Rp. 300.000,- persemester.
6.    Anggaran pendidikan mencapai 20% dari APBN, namun sayangnya kualitas kurikulum dan pengajaran di sekolah semakin menurun. Indikatornya adalah menjamurnya bimbingan belajar yang “mohon maaf” harganya sangat selangit dan hanya kalangan tertentu yang dapat menjangkaunya. Harusnya Kemendiknas “tersinggung” dengan kondisi ini karena untuk lulus UN dan SMPTN siswa harus mengikuti Bimbel. Bahkan Bimbel berani memasang iklan garansi uang kembali apabila tidak lulus UN dan SMPTN. Mengapa sekolah tidak berani juga memasang garansi yang sama ?????
Sesungguhnya contoh kondisi-kondisi di atas hanyalah sebagian kecil penomena yang terjadi saat ini yang sesungguhnya selain klaim – klaim kemajuan bidang ekonomi, hal tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Dan seharusnya hal-hal kecil tersebut sangat dapat dikendalikan oleh pemerintah yang katanya “Pro Rakyat”. Sehingga keberadaan pemerintahan tidak hanya terkesan sebagai “SIMBOL” saja di mata Rakyat.

Palembang
Medio Nopember 2011
“WONG BESAK”

No comments:

Post a Comment

Bagaimana menurut Anda ?