Suatu malam iseng-iseng saya
beselancar dengan om google mencari master plan pembangunan pertanian
Indonesia, dengan keyakinan penuh saya percaya akan mendapatkan informasi
tentang hal ini, lha wong katanya negara kita adalah negara agraris kok, pasti
orang-orang pinter yang ngurusi pertanian sudah menyusun master plan tersebut.
Satu persatu halaman om google dibuka dengan teliti, tetapi apa yang saya cari
ternyata tidak ditemukan. Ada beberapa provinsi yang mempunyai master plan
pembangunan pertanian, maka seharusnya ada juga master plan nasional. Tapi apa
boleh buat sampai lelah mata ini mencari dokumen yang saya cari tidak ditemukan.
Karena penasaran saya coba membuka situs Kementerian Pertanian dan berselancar
di situ, tetapi tetap saja tidak ditemukan. Yang ada adalah berupa rencana
strategis 5 tahun yang merupakan bagian dari rencana program dan penganggaran
untuk setiap tahunnya.
Di berberapa situs dan utamanya dari
om google yang terkait dengan master plan pertanian nasional saya hanya
menemukan beberapa ipen berupa konsinyasi, workshop, dan lokakarya yang
membahas strategi pembangunan pertanian. Asa untuk menemukan dokumen utuh yang
membahas arah pembangunan pertanian Indonesia ke depan hampir-hampir sirna
setelah beberapa waktu berselancar di dunia maya tidak juga menemukan yang
dicari.
Mengapa saya begitu ngotot ingin
membaca dokumen master plan pembangunan pertanian nasional ?. Ceritanya
beberapa hari ini saya membaca Perpres Nomor 32 Tahun 2011 tentang Master Plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I) Tahun 2011 –
2025. Setelah saya bolak-balik membaca ternyata isinya sama sekali tidak
menyinggung tentang pembangunan pertanian. Saya hanya melihat sektor pertanian
hanya terkait dengan dijadikannya RTRWN sebagai salah satu dasar kerangka pikir
pelaksanaan MP3I. Di dalam latar belakang yang dijadikan potensi pun yang
dimasukan hanya komoditas perkebunan yaitu kelapa sawit dan kakao. Sedihnya
lagi dalam hal yang dijadikan tantangan pun sektor pertanian sama sekali tidak
disinggung. Saya jadi bertanya apakah Pemerintah memang sudah “buang handuk”
untuk mengembangan sektor pertanian sebagai sektor unggulan ?. Kalau memang
dugaan saya ini mengandung kebenaran tentunya sangat disayangkan potensi yang
mendukung sektor pertanian tidak dioptimalkan. Misalnya banyaknya perguruan
tinggi yang mempunyai fakultas ataupun jurusan pertanian, sumber daya lahan
yang luas, bahkan data di BPN mengestimasi lahan tidur saat ini mencapai 2 juta
hektar. Yang paling menyedihkan tentunya kultur budaya bangsa kita yang masih
dominan berbau pertanian lambat laun akan mengalami dekulturisasi manjadi
masyarakat dengan kultur yang tidak jelas.
Saya yakin para pakar ataupun
pemerhati pertanian mempunyai rasa kekhawatiran yang sama dengan saya yang nota
bene hanya masyarakat biasa yang dibesarkan dari keluarga petani. Rasa
kekhawatiran ini semakin bertambah dengan lemahnya koordinasi pembangunan antar
sektor, bahkan terkesan adanya kontra produktif yang dibiarkan atau memang tidak terperhatikan
antar sektor pembangunan. Sebagai contoh, laju pembangunan sarana jalan yang
pesat dengan program pembangunan jalan tol terutama di wilayah Pulau Jawa dan
mulai merambah pulau Bali, dan Sumatera berpotensi mereduksi lahan pertanian
sampai dengan 3 juta hektar. Hal ini tentu terjadi kontra produktif antar dua
sektor yaitu pertumbuhan sektor prasarana wilayah dan kemunduran sektor
pertanian. Dengan demikian pemerintah perlu mempertimbangkan tingkat prioritas.
Dari kacamata awam pembangunan jalan
tol tentu hanya akan menguntungkan para pemilik modal, dari sisi ekonomi
kerakyatan tidak bisa diukur sejauh mana akan memajukan ekonomi rakyat bahkan
rakyat di sekitar yang dilalui jalan tol. Tetapi kehilangan lahan pertanian
produktif sampai dengan 3 juta hektar tentu akan terasa imbasnya bagi
masyarakat, paling tidak menghilangkan pencaharian puluhan ribu orang. Contoh
nyata pembangunan jalan tol Jakarta – Cikampek dengan panjang ruas 70 km telah
mengurangi lahan pertanian di kabupaten Karawang hampir sepertiganya. Akibatnya
Kabupaten Karawang sebagai lumbung beras nasional mulai lesu. Belum lagi
diperparah dengan berdirinya kawasan industri sepanjang jalan tol yang juga
mengalihkan fungsi lahan pertanian menjadi industri.
Tadinya saya berfikir tentu pemerintah
sudah mengantisipasi dampak dari pembangunan suatu sektor dengan menyiapkan
program untuk memperkecil dampak. Misalnya kehilangan lahan pertanian akibat
pembangunan sarana jalan diikuti dengan ekstensifikasi lahan pertanian ke
wilayah lain. Ketika program intensifikasi pertanian yang digadang-gadang akan
memperbaiki kondisi sektor pertanian gagal mencapai target, maka laju
pembangunan sektor lain akan menjadi musibah bagi sektor pertanian.
Maka yang diperlukan saat ini adalah
integrasi pembangunan berbagai sektor yang dapat menghindari kontra produktif
antar sektor tersebut. Masing-masing sektor harus punya master plan pembangunan
atau bahkan roadmap dengan arah dan
target yang jelas dan terintegrasi dengan sektor lain yang dapat terkontrol
dengan baik. Sehingga ketika sektor lain melakukan pembangunan dan menyinggung
kepentingan sektor lainnya sudah ada early
warning system yang mengingatkan. Sistem ini tentunya harus dibangun dengan
basis data yang komprehensif dan akurat. Saya yakin dengan potensi sumber daya
dan perbaikan prilaku serta mind set
setiap komponen penyusun dokumen perencanaan, pelaku pembangunan, dan sistem
kontrol yang mapan segala sesuatunya akan berjalan dengan baik dan mencapai
target yang diinginkan.
Catatan yang tidak boleh dilupakan
juga, bahwa sistem akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh integritas dan kapasitas sumberdaya manusia yang baik pula.
Mudah-mudahan sekelumit pemikiran
dari kelas akar rumput ini dapat menjadi bahan renungan untuk suatu rencana
aksi yang positif.
Palembang
Awal Agustus 2012.
No comments:
Post a Comment
Bagaimana menurut Anda ?